
Tapi setelah itu, ia mulai berpikir bahwa ibunya lagi sakit apakah
mungkin polisi datang dalam hubungan dengan hal itu. Berikut adalah
kisahnya yang muncul di majalah BBC tanggal 24 Desember 2010.
Tempat tinggal saya tidak punya telpon dan pada waktu itu belum ada hp,
jadi saya menyelinap keluar untuk mencari telpon umum. Saya menelpon ke
rumah dan ayah memberitahu bahwa ibu lagi di Rumah Sakit dan tidak
diharapkan untuk dapat melewati malam itu. "Pulanglah nak," kata ayah.
Saya langsung ke stasiun tapi keretapi yang terakhir ke Leeds sudah
berangkat. Ada keretapi lain yang pergi sampai ke Peterborough, tapi
saya terlambat 20 menit untuk menyambung perjalanan dengan keretapi yang
akan ke Leeds.
Saya seorang pelajar miskin dan tidak punya uang untuk naik taksi dari
London sampai ke rumah, tapi saya punya obeng di kantong dan juga kunci
maling (skeleton keys). Saya nekat untuk pulang dan merencanakan untuk
mencuri mobil di Peterborough, mencari tumpangan mobil, mencuri uang,
atau apa pun. Saya tahu dari nada suara ayah bahwa ibu akan meninggal
pada malam itu dan saya harus pulang sekalipun harus menggadaikan nyawa.
"Mohon tiketnya." Saya terus menatap ke luar jendala yang gelap itu.
Saya meraba-raba mencari tiket dan memberikan kepada kondektur saat ia
menghampiri. Ia menandainya, tapi ia terus berdiri di situ memandang
pada saya. Saya sempat menangis dan mata saya masih merah, dan
penampilan saya pasti mengundang banyak pertanyaan.
"Kamu baik-baik saja?" dia bertanya.
"Tentu saja, saya baik-baik," jawab saya. "Mengapa tidak? Dan apa
kaitannya dengan kamu?"
"Kamu terlihat tidak begitu baik," katanya. "Ada yang bisa aku bantu?"
"Pergi dari sini dan jangan ganggu aku," kata saya. "Itu sudah sangat
membantu." Saya lagi tidak mau bicara dengan orang.
Perawakannya agak pendek dan ia pasti sudah bisa membaca tanda-tanda
bahaya di dalam bahasa tubuh dan nada suara saya, tapi ia duduk
berseberangan dengan saya dan terus berusaha berbicara dengan saya.
"Jika ada masalah, saya di sini untuk membantu. Itulah pekerjaan saya."
Di waktu muda saya, tubuh saya gagah besar, sempat terlintas di pikiran
saya untuk langsung meninju dia, tapi sepertinya kurang pantas. Dia
tidak berbuat salah. Tapi pada waktu itu saya sedang melewati semua
tahap-tahap kesedihan sekaligus: penyangkalan, marah, rasa bersalah,
penarikan diri dan semuanya. Perasaan saya pada waktu itu berkecamuk dan
penuh dengan api kemarahan dan dia menempatkan diri menjadi sasaran
empuk kemarahan saya.
Hal lain yang dapat saya pikirkan agar dia tidak menggangu saya adalah
untuk memberitahunya kisah saya.
"Lihat, ibu saya sedang sekarat di rumah sakit, dia tidak akan bisa
bertahan sampai pagi, saya tidak akan sempat untuk naik keretapi yang ke
Leeds dari Peterborough, dan saya tidak tahu bagaimana saya bisa sampai
ke rumah."
"Kalau saya tidak sampai malam ini saya tidak akan pernah sempat melihat
ibu lagi. Saya lagi kacau ini, saya benar-benar tidak ingin berbicara.
Jadi saya akan sangat berterima kasih jika kamu meninggalkan saya
sendirian. Oke?"
"Oke," katanya. Pada akhirnya ia bangun. "Saya turut bersedih nak.
Semoga kamu sampai ke rumah sebelum terlambat." Lalu ia pergi.
Saya terus memandang ke luar jendela yang gelap gulita itu. Sepuluh
menit kemudian, ia kembali ke tempat saya. Oh tidak, ada apa lagi! Kali
ini rasanya saya benar-benar mau memukulnya.
Dia menyentuh lengan saya. "Dengar, saat kita tiba di Peterborough, kamu
langsung bergegas ke Platfom 1 secepatnya. Keretapi yang ke Leeds akan
menunggu di sana."
Terkejut, saya hanya memandangnya. Otak saya tidak dapat mencerna.
"Apa?" saya bertanya seperti orang bodoh. "Apa maksudmu? Keretapinya
terlambat atau apa?"
"Tidak, keretapinya tidak terlambant," katanya dengan sedikit membela
diri, seolah-olah ia benar-benar peduli apakah keretapinya terlambat
atau tidak. "Tidak, saya telpon ke Peterborough. Mereka akan menahan
keretapi itu untuk kamu. Setelah kamu naik, mereka akan langsung jalan."
"Semua orang akan bersungut-sungut tentang keterlambatan itu, tapi
jangan khawatir tentang itu. Anda harus pulang dan itulah yang penting.
Selamat dan Tuhan memberkati."
Lalu, kondektur itu melanjutkan ke gerbong yang lain. "Mohon tiketnya.
Ada lagi tiketnya?"
Tiba-tiba saya menyadari kebodohan dari sikap saya tadinya. Saya
mengejarnya. Saya mau memberinya semua uang yang di dompet saya, SIM
saya, kunci saya apa saja, tapi saya tahu itu akan membuatnya
tersinggung.
Saya meraih tangannya, "Oh...er, saya hanya mau..." Tiba-tiba saya
terbungkam. "Saya, err.."
"Nggak pa pa," katanya. "Tidak masalah." Ia tersenyum hangat dan belas
kasihan yang tulus terpancar dari matanya. Dia seorang yang baik dan
tidak membutuhkan imbalan apa pun.
"Kiranya saya punya cara untuk mengucapkan terima kasih," kata saya.
"Saya sangat menghargai apa yang telah Anda lakukan."
"Tidak masalah," ia berkata lagi. "Jika Anda mau berterima kasih, lain
kali saat Anda melihat orang dalam masalah, bantulah mereka. Itu sudah
cukup untuk membayar saya."
"Beritahu mereka untuk membalasnya dengan membantu orang yang lain, dan
dengan cepat dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik."
Saya berada di sisi ibu saat dia meninggal menjelang subuh. Bahkan
sampai sekarang, saya tidak dapat memikirkan ibu tanpa mengingat
kondektur yang baik di keretapi malam jurusan Peterborough itu.
Perjumpaan saya dengan kondektur itu mengubah saya dari seorang yang
berwatak egois dan penuh amarah menjadi seorang yang manusia yang layak,
tapi hal itu tentunya mengambil waktu.
Saya sudah beribu kali membayar kembali sejak waktu itu, "Saya selalu
memberitahu orang muda yang saya bantu bahwa saya akan terus
melakukannya sampai saya mati. Anda tidak berhutang apa pun pada saya.
Sama sekali tidak."
"Jika Anda merasa berhutang pada saya, saya berikan nasehat yang sama
yang telah diberikan oleh kondektur yang baik itu, lakukan hal yang sama
pada orang lain. Salurkan terus."
Di Lukas 10.37, Yesus memberitahu orang yang mau memperoleh hidup kekal,
"Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Itulah semangat dari orang Samaria
yang baik hati dan itulah yang dilakukan oleh kondektur itu.