2012

Hidup seorang yang Bodoh

Andrew Palau
Setelah kuliah dan berplesiran ke Europa, saya pindah ke Boston untuk mengejar karir dalam bidang retail. Saya memilih Boston karena jauh dari keluarga. Sudah waktunya untuk saya mencari jalan saya sendiri. Secara eksternal, saya kelihatannya baik-baik saja. Saya punya ijazah dan hidup di kota besar dan mempunyai karir yang bagus. Saya membangun relasi-relasi yang egois untuk memuaskan diri sendiri dan demi keinginan saya. Saya hidup seolah-olah Allah tidak ada.
Saya seorang dewasa yang memilih untuk berjalan meninggalkan Allah. Walaupun kehidupan saya kacau dan tak bermoral, entah bagaimana saya berhasil lolos dari penjara dan tidak terlalu terpuruk...setidaknya secara eksternal.
Apa yang terjadi dalam batin itu merupakan kisah yang berbeda.
Dengan bergulirnya waktu, saya mulai merasa kosong. Saya merasa kesepian sekalipun keluarga besar saya sangat luar biasa dan saya punya banyak sekali teman-teman. Saya adalah satu jiwa yang dikelilingi begitu banyak orang tapi saya terasa begitu putus asa secara batiniah. Ada yang hilang.
Apa yang sedang saya lakukan dengan hidup saya ini?
Pertanyaan ini terus menghantui saya. Sekalipun orang di sekitar saya merasa saya baik-baik saja tapi keberadaan internal saya sangatlah terasa sia-sia dan membuat saya malu. Saya meraba-raba dalam kegelapan untuk mencari jalan keluar. Tapi keputus-asaan bagaikan virus yang menulari seluruh hidup saya.
Saya sedang membangun hidup di atas struktur kaca - bersinar dan memantulkan cahaya indah tapi satu batu kecil saja dapat dengan mudah menghancurkan semuanya. Pilihan-pilihan masa lalu saya mulai memerangkap saya. Hal-hal yang saya anggap menyenangkan itu sekarang menjerat saya dan secara pelahan-lahan membawa pada kehancuran saya. Salah satu adalah alkohol.
Saya minum pada awalnya untuk bersenang-senang, tapi akhirnya saya terjerat. Kekhawatiran dan kecemasan membuat saya minum dan terus minum. Saya tidak dapat tidur tanpa dimabukkan oleh alkohol. Saat saya tidak dalam keadaan mabuk, saya akan berbaring di malam hari dan segala sampah dalam hidup saya akan membanjiri benak saya. Saya tidak akan tenang dan akan terbaring di tempat tidur memikirkan orang-orang yang telah saya sakiti dan kebohongan yang sudah saya lakukan. Semua tipu daya, kebohongan, kesombongan, keangkuhan dan kejahatan yang telah saya lakukan akan muncul silih berganti di dalam pemikiran saya dan membuat saya resah.
Saya seperti seorang tawanan yang disandera oleh pemikiran saya; beban rasa bersalah menindas saya, melemahkan roh dan semangat saya.
Untuk menghindari situasi itu saya akan mencari orang untuk berpesta pora setiap malam, yang merupakan hal yang tidak terlalu sulit. Tapi, kadang-kadang tidak ada orang yang dapat menemani saya, jadi saya akan naik kereta api, kemudian bis. Setelah pulang ke apartmen saya akan duduk sendiri di sofa, meminum bir dan menonton sampai dini hari. Saya akan tertidur di sofa. Merangkak bangun saat alarm berbunyi dan berangkat ke tempat kerja. Di malam hari, saya mulai berpesta lagi. Hidup saya berlanjut dalam keadaan ini. Saya masuk ke dalam lingkaran setan ini untuk lari dari realita yang ada di depan saya.
Saya hidup di dunia orang bodoh. Saya hidup untuk menyenangkan orang yang berpengaruh dan kaya. Seperti seorang badut yang menghibur orang lain. Seperti badut, saya memasang topeng dan menampilkan kehidupan yang menyenangkan, berani dan yang lebih dari yang lain. Saya memakai topeng orang bodoh. Saya menginginkan kasih dan kekuasaan. Media dunia mencerminkan keinginan saya - seks, makanan dan penghiburan. Tapi seperti badut yang berjalan di atas tali di tempat tinggi, saya akhirnya jatuh. Dan saat saya jatuh, saya melihat ke sekitar saya, tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang menonton pertunjukan ini. Saya bukan saja memakai topeng orang bodoh tapi sudah menjadi orang yang benar-benar bodoh.
* * *
"Kamu orang percaya."
"Sedang ngomong apa kamu?"
"Kamu orang percaya, benar?"
Saya tidak tahu apa yang sedang dikatakan pria itu. Saya sedang berada di sebuah klub di Boston di kelilingi oleh suara musik yang keras dan lampu yang berkedip-kedip. Saya tiga ribu mil dari keluarga dan orang yang tahu tentang latar belakang saya. Bagaimana orang ini mengenali saya?
"Kamu orang percaya."
Dengan ragu-ragu saya menjawab, "Iya." Saya langsung mau pergi dari tempat itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati saya, saya merasa senang - seolah-olah kami terhubung lewat suatu persaudaraan spiritual. Untuk seketika, saya merasakan suatu penghiburan; yang jelas pria ini seorang Kristen. Entah bagaimana dia mengenal saya.
Katanya lagi, "Iya, memang saya tahu. Kamu pengikut Setan. Benar??"
"Huh, apa? Oh tidak! Tidak!" Saya coba untuk berteriak di tengah-tengah keramaian klub itu.
Pria itu ketawa, berpaling dan meninggalkan saya.
Saya berdiri terpaku di sana. Apa yang terjadi? Sesuatu yang supernatural telah berlangsung, walaupun saya tidak tahu apa, atau kenapa. Apa yang dilihat oleh orang itu yang membuatnya begitu yakin bahwa saya pengikut Setan?
Di malam itu saya menerima peringatan yang mengerikan tentang betapa jauhnya saya sudah menyimpang. Tiba-tiba saya melihat kaitan di antara gaya hidup saya dengan Iblis. Keterikatan saya pada narkoba, alkohol dan lain-lainnya. Beban rasa bersalah sudah lama menghantui saya. Tekanan semakin bertambah dalam batin saya. Saya bukan saja harus berhadapan dengan Allah untuk dosa-dosa saya, tapi sekarang sisi gelap sudah mulai menunjukkan hadiratnya dalam hidup saya. Di malam itu tiba-tiba saya melihat dengan jelas sejauh mana saya sudah jatuh. Apakah mungkin masih ada jalan untuk saya kembali?
Catatan Editor:

Kisah di atas adalah cuplikan dari buku Kehidupan Rahasia seorang Bodoh (A Secret Life of a Fool) oleh Andrew Palau. Andrew Palau adalah anak penginjil dan teolog terkenal Luis Palau. Dia menghabiskan masa remaja dan sebagian kehidupannya memberontak melawan Kekristenan dan Tuhan. Namun, Andrew akhirnya mengalami hal yang membuatnya berubah secara dramatis dan menyerahkan hidupnya pada Allah. Hari ini, dia bersama dua saudaranya berkerja di yayasan ayahnya, Palau Association.

Yesus atau Mama?

 Skenario
Saatnya tiba ketika saya tidak bisa menahan diri lagi untuk menyerahkan seluruh hidup saya kepada-Nya melalui baptisan. Saya menyurati ibu saya untuk mengabarinya tentang keputusan saya. Saat hari-hari berlalu, saya menunggu dengan cemas akan tanggapannya.

Harganya
Untuk bisa menghadapi kemarahan ibu saya, saya tak boleh memiliki sedikitpun keraguan di dalam pilihan saya. Akal dan perasaan saya tahu persis: bahwa saya masih ketakutan! Mengapa? Yah, karena saya merasakan betapa harga untuk mengikut Tuhan benar-benar berat. Besar kemungkinan saya akan kehilangan dunia yang saya kenal selama ini. Lahir di tengah keluarga yang berkecukupan, saya tidak pernah mengalami kekuatiran akan uang. Namun, mengakui Yesus sebagai Tuan dan memberi diri untuk dibaptis bisa membuat keluarga saya marah, khususnya ibu saya, begitu besar kemarahan itu sehingga saya mungkin akan dibuang. Dibuang dari keluarga bukanlah hal yang sepele. Dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk membiayai sekolah di luar negeri? Dan sewa kamar saya? Dan ijin tinggal saya? Jika saya tidak memenuhi persyaratan, tentunya saya tidak akan boleh tinggal lagi di Kanada. Di samping itu, saya juga tidak punya cukup uang untuk meninggalkan Kanada. Jika dikumpulkan, saya hanya memiliki tiga atau empat ratus dolar - jumlah yang jelas tidak cukup bahkan sekadar untuk pulang ke negara saya sendiri. Bekerja? Yah, dengan persyaratan imigrasi yang sangat ketat, akan merupakan suatu keajaiban kalan saya bisa mendapat pekerjaan! Sekalipun ada pekerjaan, dengan bayaran per jam, mana mungkin saya bisa mendapatkan uang sebesar $6000.00 untuk biaya sekolah saya? Semuanya itu, adalah ketakutan yang sangat valid dan nyata. Dan mungkin cukup untuk mendorong saya untuk berubah pikiran.
Mengapa bisa terjadi?
Mengapa saya sampai memikirkan tentang baptisan? Sekalipun ketakutan saya terasa sangat nyata, saya tidak bisa menyangkal bahwa Allah (sampai sekarang) sangatlah nyata bagi saya. Pada usia sepuluh tahun, saya mengalami perjumpaan yang pertama kali dengan Kekristenan. Pada saat pesta Natal di mana saya diijinkan oleh ibu saya untuk hadir. Dia mengira bahwa acara itu akan membangkitkan semangat saya yang baru karena ayah saya baru saja meninggal. Satu-satunya hal yang saya ingat saat itu adalah tentang seorang perempuan yang berbicara dengan suara yang keras, dan saya terjatuh ketika dia berdoa sambil menumpangkan tangannya di atas saya. Aneh.
Kesempatan untuk merasakan lebih jauh lagi
Beberapa tahun kemudian, saya masuk ke sebuah sekolah menengah Kristen. Di sana, saya mendapat kesempatan untuk mendengarkan Firman Allah hampir setiap hari. Sering kali, saya terharu sampai menangis ketika mendengar tentang Allah yang menanggung begitu banyak penderitaan demi saya. Sering kali, saya menanggapi panggilan altar. Tentu saja, saya tidak pernah memberitahukan hal itu kepada ibu saya.
Dia memimpin saya
Setelah menyelesaikan sekolah menengah, saya berdoa dengan setulus hati agar Allah memimpin saya ke tempat di mana saya bisa mengenal-Nya lebih baik lagi. Di hari pertama saya belajar di lembaga pendidikan pra-universitas, saya benar-benar dikelilingi oleh orang-orang Kristen: satu di depan, satu di belakang, satu di sebelah kiri dan yang satu lagi di sebelah kanan saya. Mereka termasuk orang-orang yang gigih. Pada awalnya, saya tidak mau ikut persekutuan doa Kristen di sekolah karena itu akan berarti bahwa saya harus meluangkan waktu beberapa jam setelah jam sekolah di hari Jumat. Bagaimana saya akan mempertanggungjawabkan pemakaian waktu tersebut kepada ibu saya? Akan tetapi, saya terpaksa ikut, dengan harapan bahwa setelah itu mereka tidak akan memaksa saya untuk ikut lagi. Saya ingat betul bahwa saat itu saya datang terlambat. Saat saya masuk ke ruang ibadah, saya melihat sekelompok remaja yang sedang berlutut, menyanyikan lagu He Is My Peace (Dialah damai sejahteraku). Ada damai sejahtera surgawi yang melingkupi saya. Sejak saat itu, saya tidak pernah melewatkan satu ibadahpun. Anehnya ibu saya tidak pernah mempersoalkan tentang kegiatan Jumat sore saya itu.
Setelah setengah tahun di tingkat pra-universitas, saya harus mencari tempat kost karena jarak antara rumah dengan sekolah terlalu jauh. Sebelum berpindah, saya berdoa agar Allah memberi saya kesempatan untuk mengenal Firman-Nya lebih jauh lagi. Saat itu saya masih belum pindah masuk, saya sedang membersihkan kamar yang akan saya tempati ketika gadis yang tinggal di depan kamar saya melangkah masuk. Dia memperkenalkan dirinya, dan langsung mengundang saya untuk mengikuti kegiatan PA. Dan saya langsung setuju. Demikianlah, saya habiskan satu setengah tahun di sana. Seiring dengan pengenalan saya akan Firman Allah, saya mengalami satu pergumulan di dalam hati saya. Saya tahu bahwa saya harus menyerahkan hidup saya kepada Dia sepenuhnya, dan mengakui Dia secara terbuka. Tetapi saya juga sering coba untuk mencari dalih dengan berkata pada diri sendiri, "Tentunya Allah akan memahami. Saya ini merupakan kasus khusus." Pergumulan itu bukannya mereda.
Terasa pahit di mulut?
Pada tahun baru Imlek setelah ujian akhir pra-universitas saya, ibu saya menyuruh saya untuk menjamah janggut naga (naga yang dipakai dalam tarian naga) demi keberuntungan saya. Saya menolak saat itu. Dia segera bertanya apakah saya ini sudah menjadi Kristen. Saat itulah saya menyadari betapa susahnya berkata, "Ya". Dalam bulan-bulan berikutnya, saya merasakan akibat yang berkelanjutan. Ibu saya berkata bahwa saya telah menghianatinya, bahwa saya telah mengecewakannya, dan bahwa saya mungkin akan diusir jika saya terus saja percaya kepada Yesus. Pada saat itu, kasus seorang penginjil besar yang jatuh sedang disiarkan di TV. Hal itu dijadikan dasar oleh ibu saya untuk menegaskan penolakannya. Selama delapan bulan itu, saya merasa bahwa kehidupan di neraka mungkin tidak seburuk kehidupan yang saya alami. Sangat tidak tertahankan sehingga saya memutuskan untuk tidak mencari Allah lagi. Akan tetapi, Allah tidak melepaskan saya. Ada kerinduan yang sangat kuat, yang tidak dapat dipungkiri, untuk berbicara kepada Allah, terutama ketika saya dengan sengaja menyingkirkan Dia dari dalam kehidupan saya.
Tak ada yang gratis?
Pada bulan yang kesembilan di tahun itu, saya memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan saya di Toronto, Kanada. Pada malam sebelum keberangkatan saya, saya menelepon pimpinan gereja tempat saya mengikuti PA-nya. Saya ingin meminta alamat dari cabang gereja di Toronto. Ketika dia mendengar bahwa tak ada orang yang menjemput saya di Toronto, dia lalu mengatur agar ada seseorang dari cabang gereja di sana yang akan menjemput saya. Karena tempat saya di asrama universitas masih belum dikonfirmasikan, maka untuk sementara saya tinggal dengan beberapa saudari dari gereja cabang Toronto. Mungkin karena latar belakang kehidupan saya, maka saya agak kesulitan untuk mempercayai orang yang masih asing buat saya. Ibu saya sering berkata bahwa di dunia ini tak ada hal yang gratis. Jadi, saya tidak bisa memahami mengapa orang-orang ini, yang belum begitu mengenal saya, bisa memberikan keakraban yang sedemikian rupa. Mereka tidak sekadar memberi tumpangan dan makanan kepada orang asing, mereka bahkan menyediakan segala yang saya butuhkan, baik jasmani maupun rohani. Dalam beberapa hal, saya merasakan bahwa mereka jauh lebih baik daripada saudara kandung saya. Di antara mereka, saya bisa melihat betapa kasih Tuhan itu nyata adanya. Kasih Tuhan bagi saya, bukan lagi sesuatu yang hanya menjadi hayalan melainkan sesuatu yang nyata dan langsung saya alami.
Kembali ke skenario satu
Dalam masa-masa penantian yang mencemaskan itu, ibu saya menelepon. Seperti yang sudah diduga, dia marah sekali. Dan memang, seorang ibu tahu persis mengenai anak perempuannya. Dia tahu di mana harus menekan tombol. Ajaibnya, saya tidak menangis, suatu hal yang seharusnya terjadi. Ketika dia mengajukan pertanyaan, saya mendapati diri saya bisa menjawab dengan tenang. Dia menantang saya untuk menentang kehendaknya, dan dengan tajam berkata bahwa jika saya berkeras untuk melanjutkan dengan baptisan, dia tidak mau punya anak perempuan seperti saya lagi. Percakapan itu rasanya lama sekali. Ketika akhirnya dia menutup telepon, bendungan di dalam hati saya bobol. Di dalam hati saya, rasanya seperti tali terakhir yang menghubungkan saya dengan keluarga saya telah terputus. Pepatah mengatakan bahwa tak ada kasih di dunia ini seperti kasih ibu. Memang benar bahwa kasih ibu sangatlah besar, namun tetap saja ada batasnya. Kasih Tuhan itu setia dan kekal.
Pergumulan terakhir
Saat mengingat kembali pada baptisan saya, saya tersenyum. Terasa seperti tinggal satu langkah pergumulan lagi yang harus saya selesaikan sebelum saya masuk ke dalam air. Lalu saya berbalik dan melangkah keluar dari air ... ternyata saya lupa melepaskan sepatu saya! Hari ketika saya dibenamkan ke dalam air adalah hari yang dingin di tengah musim gugur, namun ada semacam kehangatan yang memancar dari dalam dan di sekitar tubuh saya...
Akan Datang
Tahun-tahun yang tidak menentu akhirnya berujung pada pemberangkatan menuju pengembaraan baru. Setelah saya dibaptis, Allah terus menuntun saya, memang masih banyak cobaan dan godaan namun saya akan membagikannya di dalam kesempatan yang lain. Sampai dengan hari ini, ibu saya tidak pernah mengusir saya. Dan sebaliknya, kasih saya kepadanya bertumbuh dalam dimensi yang baru - dengan kasih dari Tuhan. Pada awalnya, ada semacam penolakan terhadap kasih 'surgawi' yang baru ini, namun secara perlahan dia mulai menanggapi pendekatan baru dari kasih Allah dan hubungan kami mnejadi lebih dekat dibandingkan dengan yang sebelumnya.
NB. Iman bermula dengan satu langkah yang kecil. Penulis belakangan meninggalkan karirnya sebagai doktor untuk menjadi seorang misonaris. Beliau sekarang dipakai Tuhan secara luar biasa di lapangan untuk membawa banyak orang lebih mengenaliNya.

Dunia akan menjadi lebih baik jika...

"Dilaporkan di BBC suatu kisah benar tentang penulis, Bernard Hare yang mengalami suatu kebaikan yang mengubah hidupnya secara mendalam. Di tahun 1982, ia seorang pelajar miskin yang tinggal di utara London dan suatu sore polisi datang ke tempat tinggalnya. Tapi ia tidak berani untuk membuka pintu karena pikirnya mereka datang untuk mengusirnya karena sudah lama ia tidak membayar uang sewanya.

Tapi setelah itu, ia mulai berpikir bahwa ibunya lagi sakit apakah mungkin polisi datang dalam hubungan dengan hal itu. Berikut adalah kisahnya yang muncul di majalah BBC tanggal 24 Desember 2010.
Tempat tinggal saya tidak punya telpon dan pada waktu itu belum ada hp, jadi saya menyelinap keluar untuk mencari telpon umum. Saya menelpon ke rumah dan ayah memberitahu bahwa ibu lagi di Rumah Sakit dan tidak diharapkan untuk dapat melewati malam itu. "Pulanglah nak," kata ayah.
Saya langsung ke stasiun tapi keretapi yang terakhir ke Leeds sudah berangkat. Ada keretapi lain yang pergi sampai ke Peterborough, tapi saya terlambat 20 menit untuk menyambung perjalanan dengan keretapi yang akan ke Leeds.

Saya seorang pelajar miskin dan tidak punya uang untuk naik taksi dari London sampai ke rumah, tapi saya punya obeng di kantong dan juga kunci maling (skeleton keys). Saya nekat untuk pulang dan merencanakan untuk mencuri mobil di Peterborough, mencari tumpangan mobil, mencuri uang, atau apa pun. Saya tahu dari nada suara ayah bahwa ibu akan meninggal pada malam itu dan saya harus pulang sekalipun harus menggadaikan nyawa.

"Mohon tiketnya." Saya terus menatap ke luar jendala yang gelap itu. Saya meraba-raba mencari tiket dan memberikan kepada kondektur saat ia menghampiri. Ia menandainya, tapi ia terus berdiri di situ memandang pada saya. Saya sempat menangis dan mata saya masih merah, dan penampilan saya pasti mengundang banyak pertanyaan.
"Kamu baik-baik saja?" dia bertanya.
"Tentu saja, saya baik-baik," jawab saya. "Mengapa tidak? Dan apa kaitannya dengan kamu?"

"Kamu terlihat tidak begitu baik," katanya. "Ada yang bisa aku bantu?"
"Pergi dari sini dan jangan ganggu aku," kata saya. "Itu sudah sangat membantu." Saya lagi tidak mau bicara dengan orang.
Perawakannya agak pendek dan ia pasti sudah bisa membaca tanda-tanda bahaya di dalam bahasa tubuh dan nada suara saya, tapi ia duduk berseberangan dengan saya dan terus berusaha berbicara dengan saya.
"Jika ada masalah, saya di sini untuk membantu. Itulah pekerjaan saya."
Di waktu muda saya, tubuh saya gagah besar, sempat terlintas di pikiran saya untuk langsung meninju dia, tapi sepertinya kurang pantas. Dia tidak berbuat salah. Tapi pada waktu itu saya sedang melewati semua tahap-tahap kesedihan sekaligus: penyangkalan, marah, rasa bersalah, penarikan diri dan semuanya. Perasaan saya pada waktu itu berkecamuk dan penuh dengan api kemarahan dan dia menempatkan diri menjadi sasaran empuk kemarahan saya.

Hal lain yang dapat saya pikirkan agar dia tidak menggangu saya adalah untuk memberitahunya kisah saya.
"Lihat, ibu saya sedang sekarat di rumah sakit, dia tidak akan bisa bertahan sampai pagi, saya tidak akan sempat untuk naik keretapi yang ke Leeds dari Peterborough, dan saya tidak tahu bagaimana saya bisa sampai ke rumah."
"Kalau saya tidak sampai malam ini saya tidak akan pernah sempat melihat ibu lagi. Saya lagi kacau ini, saya benar-benar tidak ingin berbicara. Jadi saya akan sangat berterima kasih jika kamu meninggalkan saya sendirian. Oke?"
"Oke," katanya. Pada akhirnya ia bangun. "Saya turut bersedih nak. Semoga kamu sampai ke rumah sebelum terlambat." Lalu ia pergi.
Saya terus memandang ke luar jendela yang gelap gulita itu. Sepuluh menit kemudian, ia kembali ke tempat saya. Oh tidak, ada apa lagi! Kali ini rasanya saya benar-benar mau memukulnya.

Dia menyentuh lengan saya. "Dengar, saat kita tiba di Peterborough, kamu langsung bergegas ke Platfom 1 secepatnya. Keretapi yang ke Leeds akan menunggu di sana."
Terkejut, saya hanya memandangnya. Otak saya tidak dapat mencerna. "Apa?" saya bertanya seperti orang bodoh. "Apa maksudmu? Keretapinya terlambat atau apa?"
"Tidak, keretapinya tidak terlambant," katanya dengan sedikit membela diri, seolah-olah ia benar-benar peduli apakah keretapinya terlambat atau tidak. "Tidak, saya telpon ke Peterborough. Mereka akan menahan keretapi itu untuk kamu. Setelah kamu naik, mereka akan langsung jalan."
"Semua orang akan bersungut-sungut tentang keterlambatan itu, tapi jangan khawatir tentang itu. Anda harus pulang dan itulah yang penting. Selamat dan Tuhan memberkati."
Lalu, kondektur itu melanjutkan ke gerbong yang lain. "Mohon tiketnya. Ada lagi tiketnya?"
Tiba-tiba saya menyadari kebodohan dari sikap saya tadinya. Saya mengejarnya. Saya mau memberinya semua uang yang di dompet saya, SIM saya, kunci saya apa saja, tapi saya tahu itu akan membuatnya tersinggung.
Saya meraih tangannya, "Oh...er, saya hanya mau..." Tiba-tiba saya terbungkam. "Saya, err.."

"Nggak pa pa," katanya. "Tidak masalah." Ia tersenyum hangat dan belas kasihan yang tulus terpancar dari matanya. Dia seorang yang baik dan tidak membutuhkan imbalan apa pun.
"Kiranya saya punya cara untuk mengucapkan terima kasih," kata saya. "Saya sangat menghargai apa yang telah Anda lakukan."
"Tidak masalah," ia berkata lagi. "Jika Anda mau berterima kasih, lain kali saat Anda melihat orang dalam masalah, bantulah mereka. Itu sudah cukup untuk membayar saya."
"Beritahu mereka untuk membalasnya dengan membantu orang yang lain, dan dengan cepat dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik."
Saya berada di sisi ibu saat dia meninggal menjelang subuh. Bahkan sampai sekarang, saya tidak dapat memikirkan ibu tanpa mengingat kondektur yang baik di keretapi malam jurusan Peterborough itu.
Perjumpaan saya dengan kondektur itu mengubah saya dari seorang yang berwatak egois dan penuh amarah menjadi seorang yang manusia yang layak, tapi hal itu tentunya mengambil waktu.
Saya sudah beribu kali membayar kembali sejak waktu itu, "Saya selalu memberitahu orang muda yang saya bantu bahwa saya akan terus melakukannya sampai saya mati. Anda tidak berhutang apa pun pada saya. Sama sekali tidak."
"Jika Anda merasa berhutang pada saya, saya berikan nasehat yang sama yang telah diberikan oleh kondektur yang baik itu, lakukan hal yang sama pada orang lain. Salurkan terus."

Di Lukas 10.37, Yesus memberitahu orang yang mau memperoleh hidup kekal, "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Itulah semangat dari orang Samaria yang baik hati dan itulah yang dilakukan oleh kondektur itu.

Hidup tanpa keterbatasan


Nick Vujicic terlahir tanpa lengan dan tungkai, tapi berhasil menakluk dunia setelah ia dengan imannya di dalam Tuhan terlebih dahulu menakluki dirinya. Kisah inspiratifnya tertuang di dalam buku Life Without Limbs yang menceritakan cacat fisik dan pertempuran emosi yang dialaminya dalam mengatasi keadaannya semasa kecil, remaja dan menjelang dewasa muda. Berikut adalah cuplikan dari Pengantar bukunya.

Namaku Nick Vujicic (dibaca Voy-a-chich). Umurku 27 tahun. Aku terlahir tanpa lengan dan tungakai, tetapi aku tak terbatas dengan keterbatasanku. Aku berkeliling dunia untuk memberikan semangat kepada jutaan orang supaya mereka menaklukkan penderitaan dengan keyakinan, harapan, dan keberanian sehingga mereka dapat mengejar impian-impian mereka. Dalam buku ini, aku akan membagi pengalaman-pengalamanku dalam menghadapi penderitaan dan berbagai rintangan. Memang, beberapa di antaranya adalah kasus unik terkait kondisiku, tetapi kebanyakan merupakan hal yang umum bagi kita semua. Sasaranku adalah agar kau berani mengalahkan tantangan dan kesulitanmu sendiri sehingga dapat menemukan tujuan dan jalanmu untuk meraih kehidupan yang betul-betul luar biasa.

Kita sering merasakan kehidupan tidak adil. Kesulitan dan penderitaan memang dapat memunculkan kebimbangan dan keputusasaan. Aku sendiri sangat memahami hal itu. Tetapi Alkitab mengatakan, “Apa pun cobaan yang kalian hadapi, terimalah dengan sukacita.”  Selama bertahun-tahun, aku berupaya keras belajar mengenal hal itu, dan akhirnya, aku bisa melakukannya. Dari semua pengalamanku, aku dapat membantumu melihat bahwa sebagian besar kesulitan yang kita hadapi menawarkan kesempatan bagi kita untuk menggali siapa sejatinya diri kita dan kontribusi macam apa yang dapat kita berikan kepada sesama kita.

Kedua orangtuaku adalah orang Kristen yang taat, tetapi setelah aku terlahir tanpa lengan serta tungkai, mereka pun jadi mempertanyakan apa maksud Tuhan menciptakan aku seperti itu. Awalnya mereka beranggapan orang seperti aku tidak akan memiliki harapan dan masa depan, bahwa aku tidak akan pernah memiliki kehidupan yang normal dan produktif.

Namun, sekarang kehidupanku jauh melampuai apa yang bisa kami bayangkan. Setiap hari aku menerima telepon, e-mail, SMS, pesan Twitter dari orang-orang yang tak kukenal. Di bandara, hotel, dan restoran, mereka menghampiriku untuk memelukku dan mengatakan bahwa aku telah menyentuh kehidupan mereka melalui berbagai hal. Aku sangat bersyukur. Aku merasakan kebahagiaan yang benar-benar luar biasa.

Aku dan keluargaku sama sekali tidak mengira bahwa keterbatasanku – “deritaku” – juga bisa menjadi berkat, yang memberiku banyak peluang istimewa untuk mengulurkan tangan kepada orang lain, berempati terhadap mereka, memahami penderitaan mereka, dan menawarkan penghiburan bagi mereka. Jelas, aku menghadapi banyak cobaan berat, tetapi aku juga dikaruniai sebuah keluarga yang penuh cinta, yang memiliki pemikiran cemerlang serta iman yang kuat dan tak tergoyahkan. Aku terterus terang bahwa aku baru benar-benar menemukan iman dan rasa memiliki tujuan (sense of purpose) setelah mengalami beberapa pengalaman yang sangat mengerikan.

Begini, ketika aku memasuki masa remaja yang begitu sulit, masa ketika kita semua kebingungan mencari jati diri, aku patang arang karena kondisiku, aku merasa tidak akan pernah bisa “normal”. Tak mungkin bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya tubuhku tidak sama seperti teman-teman sekelasku. Meskipun aku berulang kali mencoba berbagai aktivitas “normal” seperti berenang dan ber-skateboard, aku malah menjadi semakin menyadari bahwa memang akan selalu ada hal-hal yang tidak bisa kulakukan.
Lebih buruk lagi, ada beberapa anak yang dengan kejam mengolok-olokku dengan sebutan “anak aneh” dan “alien”. Tentu saja, aku sepenuhnya manusia dan ingin menjadi bisa seperti orang-orang lainnya, tetapi kelihatannya kecil harapanku untuk mewujudkannya. Aku ingin diterima, tetapi rasanya aku tidak diterima. Aku ingin mendapat tempat dalam pergaulan, tetapi kelihatannya aku tidak mendapatkannya. Aku terbentur sebuah dinding.
Aku sakit hati. Aku mengalami depresi, tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif, dan tidak merasa ada gunanya aku hidup. Aku kesepian meski berada di tengah-tengah keluarga dan banyak teman. Aku takut hanya akan terus menjadi beban bagi mereka yang aku cintai.
Namun, aku salah, salah besar. Segala sesuatu yang tidak aku sadari di masa-masa suram tersebut dapat dijadikan sebuah buku: ya buku yang sedang kau pegang ini. Dalam halaman-halaman buku ini, aku akan berbagi denganmu beberapa metode untuk menemukan harapan di tengah gelombang ujian-ujian yang berat dan cobaan-cobaan yang meremukkan hati. Aku akan menerangi jalan bagimu untuk menyeberangi penderitaan sehigga kau akan menjadi lebih kuat, lebih tegar, dan lebih berdaya untuk mengejar kehidupan yang kau inginkan, dan bahkan mungkin mendapatkan kehidupan yang jauh melebihi apa yang bisa kau bayangkan.

Jika kau memiliki keinginan dan hasrat untuk melakukan sesuatu, dan hal itu sejalan dengan kehendak Tuhan, kau pasti akan berhasil Pernyataan yang sangat dahsyat. Jujur saja, aku tidak selalu memercayai pernyataan itu. Kalau kau sudah melihat salah satu kesaksianku yang diunggah ke internet, kebahagiaan diriku yang terpancar dalam video-video tersebut merupakan hasil dari perjalanan yang kutempuh. Pada mulanya, tidak semua yang kubutuhkan ada pada diriku dan aku harus membentuk beberapa atribut penting selama perjalanan itu. Untuk hidup tanpa batas, ternyata aku membutuhkan:

Rasa memiliki tujuan yang kuat
Harapan yang begitu kuat sehingga tidak akan luntur
Iman kepada Tuhan dan peluang yang tak terbatas
Rasa cinta dan penerimaan diri sendiri
Sikap yang berkualitas
Jiwa yang berani
Kemauan untuk berubah
Hati penuh keyakinan
Hasrat untuk mendapat peluang
Kemampuan mengukur resiko dan menertawakan kehidupan
Misi yang mengutamakan pelayanan bagi sesama
Setiap bab dalam buku ini dimaksudkan untuk menjelaskan masing-masing atribut tersebut sehingga kau pun dapat menggunakan dalam perjalananmu mencapai kehidupan yang memuaskan dan berarti. Aku membagi hal itu kepadamu karena aku meneruskan kasih Tuhan kepadamu. Aku ingin kau menggapai segala kebahagiaan dan kepuasan yang disediakan Tuhan bagimu.

Jika kau termasuk di antara sekian banyak orang yang berjuang setiap hari, ingatlah selalu bahwa di luar perjuangan kita sendiri telah menanti sebuah tujuan bagi kehidupan kita. Tujuan itu terbukti amat, sangat, jauh lebih besar daripada yang pernah kita bayangkan.
Kau mungkin akan terbentur banyak kesulitan. Kau mungkin akan jatuh dan merasa tak ada lagi kekuatan dalam dirimu untuk bangkit kembali. Aku tahu bagaimana rasanya, Teman. Kita semua merasakannya. Kehidupan tidak selamanya mudah, tetapi ketika kita menaklukkan cobaan, kita menjadi lebih kuat dan lebih bisa mensyukuri kesempatan-kesempatan kita. Yang terpenting adalah kehidupan-kehidupan yang kau sentuh selama perjalananmu dan caramu menyelesaikan perjalanan itu.
Aku mencintai kehidupanku sebagaimana aku mencintai kehidupanmu. Bersama-sama, peluang kita sungguh luar biasa. Jadi, bagaimana? Tidakkah lebih baik kita coba saja, Kawan?

(Buku Life Without Limits diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka dan tersedia di toko-toko buku Gramedia)

Aku Hanya seorang Manusia yang Lemah

John Sung

Saya pernah mau menyerah di tahun ke sembilan saya melayani Tuhan. Melayani Tuhan bukanlah pekerjaan yang mudah, kita harus banyak menderita sengsara. Saya pernah merasa lemah dan patah semangat. Jika bukan karena kasih Kristus, tidaklah mungkin saya dapat bertekun melayani Tuhan.
Pernah sekali setelah menyelesaikan serangkaian kampanye penginjilan, saya harus menunggu selama 4 jam di stasiun kereta. Mungkin karena sudah terlalu lelah saya mulai berpikir, "Mengapa saya harus terus menginjili? Apa yang saya perolehi dengan meninggalkan rumah dan keluarga dengan bepergian terus? Apa hasilnya? Apa yang saya dapatkan!" Saya patah semangat dan merasa seolah-olah semuanya sia-sia, dan suara hati saya berkata, "Tuhan, saya tidak mau lagi melanjutkan kegiatan penginjilan ini." Begitulah Iblis akan menggoda kita di saat kita lemah. Tetapi Tuhan bersimpati dengan kelemahan saya.

Di dalam kesendirian saya bergumul dengan pikiran yang negatif ini, tiba-tiba saya disapa seorang pria. "Apakah Anda mengenal saya?" Saya memandangnya dan pria itu melanjutkan, "Saya mendapat kabar Anda sedang berada di sini. Jadi saya datang untuk bertemu dengan Anda. Beberapa tahun yang lalu, Anda telah menyelamatkan seluruh keluarga saya. Tapi, saya yakin Anda tidak tahu akan hal itu."
Pria itu lalu menceritakan tentang masa lalunya. Dulu ia seorang pegawai di kantor pos dan ia jatuh cinta dengan seorang gadis yang masih sekolah Ia begitu mencintai gadis itu dan ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan istrinya.
'Dan pada waktu itu, Anda datang ke kota saya untuk menginjili. Karena kebetulan saya lewat di tempat itu saya lalu masuk ke ruang pertemuan. Anda sedang berkotbah dari Lukas 16.18 Setiap orang yang menceraikan istrinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berzina; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berzina.
Dan Anda berkata dengan berapi-api, "Pezina akan diutus ke neraka dan dikutuk selama-lamanya jika ia tidak bertobat dan percaya pada Tuhan." Hati saya sangat tidak tenteram setelah mendengarkan Anda. Sepanjang malam saya tidak dapat tidur. Hari kedua dan ketiga saya terus mendatangi tempat Anda berkhotbah. Roh Kudus berkarya dalam hati saya. Tidak ada hal yang dapat saya lakukan melainkan bertobat. Saya maju ke depan pada hari ketiga dan mengakui dosa-dosa saya. Demikianlah Tuhan menyelamatkan saya.
Setelah itu saya meninggalkan kekasih saya dan meminta istri saya memaafkan saya. Tuhan baik, istri saya mau menerima saya kembali. Kami sekarang sudah berdamai dan kasih kami semakin hari semakin kuat. Seluruh keluarga saya mengalami transformasi. Semuanya sekarang mengenal Tuhan dan sukacita memenuhi hati kami. Bukan saja kami tetapi teman-teman dan keluarga besar kami juga sudah diselamatkan. Kami bahkan mengadakan kelas di kantor untuk belajar Alkitab bersama-sama.

Semuanya ini tidak akan kami alami jika Anda tidak datang ke kota kami untuk menginjili. Saya tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada Anda kecuali tas kecil ini. Semoga Tuhan membalas apa yang telah Anda lakukan.'  

Saudaraku, betapa Tuhan menguatkan saya pada waktu itu. Melihat kasih karunia Tuhan yang begitu indah, saya langsung bangkit kembali. Walaupun saya begitu tidak layak tetapi Tuhan telah menghibur dan mendorong saya di waktu saya benar-benar terpuruk!
Percayalah saudaraku, salib kita tidak akan lebih berat dari kasih karunia Tuhan. Kesedihan kita tidak dapat menutupi wajah Tuhan, setiap kali kita memandang pada-Nya, kita akan melihat kemuliaan-Nya.

(Dikutip dari khotbah John Sung yang berjudul A New Hope)

Back to Top