Yesus atau Mama?

 Skenario
Saatnya tiba ketika saya tidak bisa menahan diri lagi untuk menyerahkan seluruh hidup saya kepada-Nya melalui baptisan. Saya menyurati ibu saya untuk mengabarinya tentang keputusan saya. Saat hari-hari berlalu, saya menunggu dengan cemas akan tanggapannya.

Harganya
Untuk bisa menghadapi kemarahan ibu saya, saya tak boleh memiliki sedikitpun keraguan di dalam pilihan saya. Akal dan perasaan saya tahu persis: bahwa saya masih ketakutan! Mengapa? Yah, karena saya merasakan betapa harga untuk mengikut Tuhan benar-benar berat. Besar kemungkinan saya akan kehilangan dunia yang saya kenal selama ini. Lahir di tengah keluarga yang berkecukupan, saya tidak pernah mengalami kekuatiran akan uang. Namun, mengakui Yesus sebagai Tuan dan memberi diri untuk dibaptis bisa membuat keluarga saya marah, khususnya ibu saya, begitu besar kemarahan itu sehingga saya mungkin akan dibuang. Dibuang dari keluarga bukanlah hal yang sepele. Dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk membiayai sekolah di luar negeri? Dan sewa kamar saya? Dan ijin tinggal saya? Jika saya tidak memenuhi persyaratan, tentunya saya tidak akan boleh tinggal lagi di Kanada. Di samping itu, saya juga tidak punya cukup uang untuk meninggalkan Kanada. Jika dikumpulkan, saya hanya memiliki tiga atau empat ratus dolar - jumlah yang jelas tidak cukup bahkan sekadar untuk pulang ke negara saya sendiri. Bekerja? Yah, dengan persyaratan imigrasi yang sangat ketat, akan merupakan suatu keajaiban kalan saya bisa mendapat pekerjaan! Sekalipun ada pekerjaan, dengan bayaran per jam, mana mungkin saya bisa mendapatkan uang sebesar $6000.00 untuk biaya sekolah saya? Semuanya itu, adalah ketakutan yang sangat valid dan nyata. Dan mungkin cukup untuk mendorong saya untuk berubah pikiran.
Mengapa bisa terjadi?
Mengapa saya sampai memikirkan tentang baptisan? Sekalipun ketakutan saya terasa sangat nyata, saya tidak bisa menyangkal bahwa Allah (sampai sekarang) sangatlah nyata bagi saya. Pada usia sepuluh tahun, saya mengalami perjumpaan yang pertama kali dengan Kekristenan. Pada saat pesta Natal di mana saya diijinkan oleh ibu saya untuk hadir. Dia mengira bahwa acara itu akan membangkitkan semangat saya yang baru karena ayah saya baru saja meninggal. Satu-satunya hal yang saya ingat saat itu adalah tentang seorang perempuan yang berbicara dengan suara yang keras, dan saya terjatuh ketika dia berdoa sambil menumpangkan tangannya di atas saya. Aneh.
Kesempatan untuk merasakan lebih jauh lagi
Beberapa tahun kemudian, saya masuk ke sebuah sekolah menengah Kristen. Di sana, saya mendapat kesempatan untuk mendengarkan Firman Allah hampir setiap hari. Sering kali, saya terharu sampai menangis ketika mendengar tentang Allah yang menanggung begitu banyak penderitaan demi saya. Sering kali, saya menanggapi panggilan altar. Tentu saja, saya tidak pernah memberitahukan hal itu kepada ibu saya.
Dia memimpin saya
Setelah menyelesaikan sekolah menengah, saya berdoa dengan setulus hati agar Allah memimpin saya ke tempat di mana saya bisa mengenal-Nya lebih baik lagi. Di hari pertama saya belajar di lembaga pendidikan pra-universitas, saya benar-benar dikelilingi oleh orang-orang Kristen: satu di depan, satu di belakang, satu di sebelah kiri dan yang satu lagi di sebelah kanan saya. Mereka termasuk orang-orang yang gigih. Pada awalnya, saya tidak mau ikut persekutuan doa Kristen di sekolah karena itu akan berarti bahwa saya harus meluangkan waktu beberapa jam setelah jam sekolah di hari Jumat. Bagaimana saya akan mempertanggungjawabkan pemakaian waktu tersebut kepada ibu saya? Akan tetapi, saya terpaksa ikut, dengan harapan bahwa setelah itu mereka tidak akan memaksa saya untuk ikut lagi. Saya ingat betul bahwa saat itu saya datang terlambat. Saat saya masuk ke ruang ibadah, saya melihat sekelompok remaja yang sedang berlutut, menyanyikan lagu He Is My Peace (Dialah damai sejahteraku). Ada damai sejahtera surgawi yang melingkupi saya. Sejak saat itu, saya tidak pernah melewatkan satu ibadahpun. Anehnya ibu saya tidak pernah mempersoalkan tentang kegiatan Jumat sore saya itu.
Setelah setengah tahun di tingkat pra-universitas, saya harus mencari tempat kost karena jarak antara rumah dengan sekolah terlalu jauh. Sebelum berpindah, saya berdoa agar Allah memberi saya kesempatan untuk mengenal Firman-Nya lebih jauh lagi. Saat itu saya masih belum pindah masuk, saya sedang membersihkan kamar yang akan saya tempati ketika gadis yang tinggal di depan kamar saya melangkah masuk. Dia memperkenalkan dirinya, dan langsung mengundang saya untuk mengikuti kegiatan PA. Dan saya langsung setuju. Demikianlah, saya habiskan satu setengah tahun di sana. Seiring dengan pengenalan saya akan Firman Allah, saya mengalami satu pergumulan di dalam hati saya. Saya tahu bahwa saya harus menyerahkan hidup saya kepada Dia sepenuhnya, dan mengakui Dia secara terbuka. Tetapi saya juga sering coba untuk mencari dalih dengan berkata pada diri sendiri, "Tentunya Allah akan memahami. Saya ini merupakan kasus khusus." Pergumulan itu bukannya mereda.
Terasa pahit di mulut?
Pada tahun baru Imlek setelah ujian akhir pra-universitas saya, ibu saya menyuruh saya untuk menjamah janggut naga (naga yang dipakai dalam tarian naga) demi keberuntungan saya. Saya menolak saat itu. Dia segera bertanya apakah saya ini sudah menjadi Kristen. Saat itulah saya menyadari betapa susahnya berkata, "Ya". Dalam bulan-bulan berikutnya, saya merasakan akibat yang berkelanjutan. Ibu saya berkata bahwa saya telah menghianatinya, bahwa saya telah mengecewakannya, dan bahwa saya mungkin akan diusir jika saya terus saja percaya kepada Yesus. Pada saat itu, kasus seorang penginjil besar yang jatuh sedang disiarkan di TV. Hal itu dijadikan dasar oleh ibu saya untuk menegaskan penolakannya. Selama delapan bulan itu, saya merasa bahwa kehidupan di neraka mungkin tidak seburuk kehidupan yang saya alami. Sangat tidak tertahankan sehingga saya memutuskan untuk tidak mencari Allah lagi. Akan tetapi, Allah tidak melepaskan saya. Ada kerinduan yang sangat kuat, yang tidak dapat dipungkiri, untuk berbicara kepada Allah, terutama ketika saya dengan sengaja menyingkirkan Dia dari dalam kehidupan saya.
Tak ada yang gratis?
Pada bulan yang kesembilan di tahun itu, saya memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan saya di Toronto, Kanada. Pada malam sebelum keberangkatan saya, saya menelepon pimpinan gereja tempat saya mengikuti PA-nya. Saya ingin meminta alamat dari cabang gereja di Toronto. Ketika dia mendengar bahwa tak ada orang yang menjemput saya di Toronto, dia lalu mengatur agar ada seseorang dari cabang gereja di sana yang akan menjemput saya. Karena tempat saya di asrama universitas masih belum dikonfirmasikan, maka untuk sementara saya tinggal dengan beberapa saudari dari gereja cabang Toronto. Mungkin karena latar belakang kehidupan saya, maka saya agak kesulitan untuk mempercayai orang yang masih asing buat saya. Ibu saya sering berkata bahwa di dunia ini tak ada hal yang gratis. Jadi, saya tidak bisa memahami mengapa orang-orang ini, yang belum begitu mengenal saya, bisa memberikan keakraban yang sedemikian rupa. Mereka tidak sekadar memberi tumpangan dan makanan kepada orang asing, mereka bahkan menyediakan segala yang saya butuhkan, baik jasmani maupun rohani. Dalam beberapa hal, saya merasakan bahwa mereka jauh lebih baik daripada saudara kandung saya. Di antara mereka, saya bisa melihat betapa kasih Tuhan itu nyata adanya. Kasih Tuhan bagi saya, bukan lagi sesuatu yang hanya menjadi hayalan melainkan sesuatu yang nyata dan langsung saya alami.
Kembali ke skenario satu
Dalam masa-masa penantian yang mencemaskan itu, ibu saya menelepon. Seperti yang sudah diduga, dia marah sekali. Dan memang, seorang ibu tahu persis mengenai anak perempuannya. Dia tahu di mana harus menekan tombol. Ajaibnya, saya tidak menangis, suatu hal yang seharusnya terjadi. Ketika dia mengajukan pertanyaan, saya mendapati diri saya bisa menjawab dengan tenang. Dia menantang saya untuk menentang kehendaknya, dan dengan tajam berkata bahwa jika saya berkeras untuk melanjutkan dengan baptisan, dia tidak mau punya anak perempuan seperti saya lagi. Percakapan itu rasanya lama sekali. Ketika akhirnya dia menutup telepon, bendungan di dalam hati saya bobol. Di dalam hati saya, rasanya seperti tali terakhir yang menghubungkan saya dengan keluarga saya telah terputus. Pepatah mengatakan bahwa tak ada kasih di dunia ini seperti kasih ibu. Memang benar bahwa kasih ibu sangatlah besar, namun tetap saja ada batasnya. Kasih Tuhan itu setia dan kekal.
Pergumulan terakhir
Saat mengingat kembali pada baptisan saya, saya tersenyum. Terasa seperti tinggal satu langkah pergumulan lagi yang harus saya selesaikan sebelum saya masuk ke dalam air. Lalu saya berbalik dan melangkah keluar dari air ... ternyata saya lupa melepaskan sepatu saya! Hari ketika saya dibenamkan ke dalam air adalah hari yang dingin di tengah musim gugur, namun ada semacam kehangatan yang memancar dari dalam dan di sekitar tubuh saya...
Akan Datang
Tahun-tahun yang tidak menentu akhirnya berujung pada pemberangkatan menuju pengembaraan baru. Setelah saya dibaptis, Allah terus menuntun saya, memang masih banyak cobaan dan godaan namun saya akan membagikannya di dalam kesempatan yang lain. Sampai dengan hari ini, ibu saya tidak pernah mengusir saya. Dan sebaliknya, kasih saya kepadanya bertumbuh dalam dimensi yang baru - dengan kasih dari Tuhan. Pada awalnya, ada semacam penolakan terhadap kasih 'surgawi' yang baru ini, namun secara perlahan dia mulai menanggapi pendekatan baru dari kasih Allah dan hubungan kami mnejadi lebih dekat dibandingkan dengan yang sebelumnya.
NB. Iman bermula dengan satu langkah yang kecil. Penulis belakangan meninggalkan karirnya sebagai doktor untuk menjadi seorang misonaris. Beliau sekarang dipakai Tuhan secara luar biasa di lapangan untuk membawa banyak orang lebih mengenaliNya.

Leave reply

Back to Top